Bangka - Hami-news. Com

Adanya aktifitas mengeruk alur pelayanan kapal nelayan dan adanya aktifitas tambang di Muara Air Kantung Sungailiat Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 


Situasi ini menciptakan konflik kepentingan dan dampak yang signifikan:

Di satu sisi pengerukan alur pelayaran adalah kegiatan vital yang bertujuan untuk menjaga kedalaman laut atau muara sungai agar kapal-kapal, baik kapal nelayan maupun niaga, dapat melintas dengan aman dan lancar, terutama saat air surut. Tanpa pengerukan, pendangkalan dapat menghambat aktivitas ekonomi dan keselamatan navigasi.


Di sisi lain, pertambangan timah di alur (baik legal dengan Izin Usaha Pertambangan/IUP maupun ilegal) sering kali menjadi penyebab utama terjadinya sedimentasi atau pendangkalan tersebut. 


Aktivitas pengerukan pasir dan material lain di dasar laut atau pesisir menghasilkan limbah (tailing) yang mencemari perairan, merusak ekosistem laut (seperti terumbu karang), dan menyebabkan air menjadi keruh. 



Dilema yang muncul dari situasi ini meliputi Siklus Kerusakan Pengerukan dilakukan untuk mengatasi pendangkalan yang ironisnya sering kali diperparah oleh aktivitas penambangan di wilayah yang sama atau berdekatan.


Dampak Lingkungan: Kegiatan penambangan di laut menyebabkan penurunan kualitas air dan kerusakan habitat, yang berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan tradisional dan keberlanjutan ekosistem perairan.


Konflik Regulasi: Terdapat tantangan dalam penegakan hukum dan tumpang tindih perizinan antara zona pertambangan dan alur pelayaran yang dilindungi, meskipun secara hukum penambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil dilarang tanpa izin spesifik dan AMDAL yang ketat.



Aspek Sosial Ekonomi: Meskipun pertambangan memberikan kontribusi ekonomi, dampak negatifnya sering kali merugikan mata pencaharian masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang pendapatannya menurun drastis akibat kerusakan lingkungan. 


Pemerintah daerah dan perusahaan tambang (seperti PT Timah Tbk) terkadang berkolaborasi dalam upaya pengerukan sebagai solusi jangka pendek untuk membantu akses nelayan, namun hal ini tidak selalu menyelesaikan akar masalah kerusakan lingkungan akibat penambangan itu sendiri. 


Tidak hanya itu awak media pun mendengar kabar dari salah satu masyarakat dilokasi tersebu beredar di mana , setiap para penambang yang ingin melakukan penambangan dilokasi tersebut Para penambang harus membayar Rp 2 juta per ponton tiap Minggu ke panitia, dan aktifitas tersebut berjalan dari pagi hari sampai malam hari. Ujar nya


Awak media pun sudah melakukan konfirmasi kepada pak Rahendra Sebagi KTT belum ada tanggapan sampai saat ini 


Sampai pemberitaan ini di publikasikan kami dari awak media akan selalu berusaha meminta mengkonfirmasi kepada pihak- pihak terkait, akan selalu mengikuti perkembangan masalah ini di muara air kantung jelitik. ( Red)