Opini : Padli Kurniawan
BANGKA BELITUNG - Di balik kilauan timah Bangka Belitung tersimpan luka panjang yang berdarah.
Kerugian kerusakan ekologis senilai Rp271,06 triliun tidak hanya meremukkan tanah dan laut, tetapi juga meruntuhkan harapan rakyat kecil yang terus disisihkan oleh kebijakan.
Angka fantastis ini adalah hasil perhitungan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan ahli lingkungan, Bambang Hero Saharjo, menggunakan Peraturan Menteri LHK No. 7 Tahun 2014. Rinciannya menunjukkan kerugian ekologis mencapai Rp183,7 triliun, kerugian ekonomi lingkungan Rp74,4 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp12,1 triliun. Angka fantastis itu bukan sekadar petaka lingkungan, melainkan monumen kegagalan sistemik negara dalam mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.
Dalam puing-puing tragedi ini, muncul dilema pahit bagi para penambang rakyat. Mereka dihadapkan pada pilihan antara kemitraan yang ditawarkan regulator dan tuntutan atas Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang legal dan mandiri.
Negara memilih solusi kemitraan yang pragmatis dan cepat, namun kita harus mempertanyakan apakah skema ini benar-benar menyelesaikan masalah atau hanya sebatas ‘legalisasi parsial’ yang mengalihkan tanggung jawab lingkungan tanpa mengubah struktur monopoli yang merugikan masyarakat.
Kemitraan : Legalitas Semu di Bawah Bayang-Bayang Korporasi Skema kemitraan yang diinisiasi oleh BUMN seperti PT Timah memberikan ruang bagi penambang rakyat beroperasi di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) korporasi melalui koperasi. Di permukaan, kemitraan ini terlihat sebagai bentuk penertiban dan pengakuan legalitas.
Namun secara hukum langkah ini justru menurunkan status penambang rakyat menjadi ‘mitra bergantung’ tanpa kepastian hukum otonom.
Penambang tidak memperoleh hak penuh atas lahan sesuai dengan mandat IPR dalam Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Kondisi ini menjadikan mereka seperti pekerja outsourcing pada perusahaan induk. Mereka rentan terhadap kebijakan sewenang-wenang BUMN dan terikat pada kewajiban menjual hasil tambang hanya kepada PT Timah yang mengokohkan monopoli harga.
Kemitraan ini lebih berfungsi sebagai balsem sementara daripada solusi struktural sejati. Ia mengabaikan akar masalah diskriminasi akses legal bagi penambang kecil.
Tata Ruang Chaos dan Kegamangan Negara Tuntutan penambang atas IPR sesungguhnya adalah tuntutan kedaulatan ekonomi yang dijamin oleh Pasal 27 UU Minerba dalam wilayah pertambangan rakyat (WPR).
Sayangnya,." implementasi WPR ini terhenti dan terhambat oleh kekacauan tata ruang. Banyak wilayah tumpuan penambang rakyat, terutama di laut, tumpang tindih secara hukum dengan IUP BUMN bahkan masuk ke zona yang seharusnya dilindungi seperti konservasi dalam RZWP3K.
Perlu dicatat, dari total kerugian Rp271 triliun, sebanyak Rp223,3 triliun terjadi di kawasan hutan, dan Rp47,7 triliun di kawasan non-hutan, menunjukkan betapa luasnya wilayah yang dikorbankan.
Inilah titik kegagalan paling nyata.
"Negara gagal menegakkan hukum lingkungan yang seharusnya berdaulat atas konflik tata ruang ini"
Jika WPR di laut bertentangan dengan RZWP3K, maka UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) harus menjadi acuan utama.
Negara wajib konsisten menghentikan aktivitas pertambangan baik oleh BUMN maupun rakyat di zona konservasi dan zona tangkap nelayan. Ketidaktegasan ini hanya menciptakan status quo yang berulang-ulang melahirkan konflik dan kerusakan ekologis. Penambangan timah di pulau Bangka
Menyeimbangkan Keadilan Hukum dan Kewajiban Ekologis Kriteria utama yang tidak boleh ditawar dalam mencari solusi adalah keberlanjutan fungsi lingkungan seperti diamanatkan Pasal 3 UU PPLH. Kerugian ekologis Rp271 triliun yang sudah tercatat adalah beban sejarah yang mencerminkan kegagalan negara menjaga kelestarian laut dan pesisir.
Kemitraan berisiko menjadi alat ‘legalisasi kerusakan’ jika koperasi rakyat yang dibentuk tidak memiliki kapabilitas teknologi maupun finansial untuk standar lingkungan dan reklamasi yang
memadai.
Oleh sebab itu keadilan hukum bagi penambang rakyat harus setara dengan keadilan ekologis bagi laut dan masyarakat pesisir.
Memberikan legalitas sambil membiarkan kerusakan ekosistem terus berlangsung adalah pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan
yang harus ditegakkan negara
Jalan Keluar:
Membuka Kepastian Hukum yang Utuh dan Bertanggung Jawab Solusi kemitraan adalah aksi politik jangka pendek yang justru memperpanjang masalah lama.
Untuk menuntaskan tragedi ini dan menghadirkan keadilan yang menyeluruh di Bangka Belitung, negara harus memilih langkah berani dan strategis:
• Audit dan Re-Zonasi Total IUP: Negara wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh IUP, mencabut izin yang melanggar RZWP3K, dan menetapkan WPR secara jujur dalam zona yang benar-benar aman ekologis.
• Dana Transisi Ekonomi Wajib: Jika pertambangan laut harus dihentikan untuk melindungi lingkungan, negara bertanggung jawab menyediakan program alih profesi dan dana transisi
yang kredibel bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada pertambangan.
• Akselerasi Penerbitan IPR Mandiri: Mempermudah dan mempercepat penerbitan IPR di zona yang diizinkan, memberikan kepastian hukum yang benar-benar mandiri dan tidak bergantung pada skema kemitraan yang menyudutkan.
Hanya melalui langkah-langkah ini, di mana kepastian hukum dan perlindungan ekologis berjalan seiring, Bangka Belitung bisa keluar dari bayang-bayang tragedi timah yang berkelanjutan.
Keadilan sejati di Bangka Belitung hanya akan terwujud bila negara berani memilih IPR mandiri dan menempatkan kesehatan lingkungan serta hak rakyat di atas legalitas parsial yang mudah disalahgunakan.
Sumber : Fadli Kurniawan
Editor : Agus. H



0 Komentar